Wejangan Ibu Kepada Putrinya

Malam itu, rembulan mencahayai wajah Bumi. Perlahan kesunyian merambah di sela-sela cahaya teduh. Dan di antara gemericik air sungai di sebuah titik semesta ini, terdengar sayup-sayup suara. 

Suara itu begitu lembut namun tak terbetik kelemahan. Penuh kasih sayang namun tak tercampur ketundukan. Suara itu memiliki ketentrama surgawi. Getarannya menggeletari udara malam. Menggelombang lembut di antara pepohonan dan dedaunan. Bercampur dengan desau-desau angin malam. 

Maka kudengar suara itu menjejahkan kalimah indah di peraduan hatiku. 

"Putriku ... Keimanan itu laksana debur ombak. Ia terus bergerak tanpa henti. Menggelorai jiwamu dengan bara semangat, menggetarkan dinding hatimu dengan kerinduan, dan membasahi jiwa dengan segenap yang bernama kecintaan.

"Ia tak terlihat tetapi derapnya engkau rasakan. Ia tak tertangkap namun akan mengalir tiada henti, mengajakmu ke muara ketentraman.

"Ada percikan yang membangkitkan kekokohan jiwa. Engkau akan berdiri setegap Gunung. Namun kasih sayangmu bergemarai laksana daun di Musim Gugur. Engkau akan lebih berani daripada harimau rimba. Namun hatimu lebih lembut dari sehelai kapas putih. Itulah keimanan, Putriku."

Maka kalimah indah itu membawaku ke satu masa dimana petang-petangku begitu indah. Duduk bersimpuh di hadapan Ibunda. Ditemani lampu minyak yang ujung apinya bergoyang mengikuti sentuhan angin, ia mengajari huruf demi huruf dari kalam-Nya. 

Dengan kesabaran yang sangat menawan, lalu ia mendongengiku tentang negeri-negeri jauh yang bahkan angan-anganku tak dapat menggapainya.

Terkadang aku mendengar untaian kalimah yang lebih indah daripada mutiara. Meski baru hari ini pengertian dan pemahamannya menelisik ke relung hatiku. Cahaya temaram kamar seolah memudahkan diriku menerima wejangan dalam kisah-kisah yang diceritakannya. 

Ibu. Malam ini, ketika kulihat lagi cahaya dari sisa purnama, aku kembali merindukanmu. Aku anakmu mengerti bahwa kebenaran itu tidak pernah lekang meski dibakar sang zaman. Tiada ketentraman kecuali ketentraman yang tumbuh dari kedalaman. Dan tak akan pernah tumbuh kecuali kuserahkan segalanya kepada Sang Pencipta seluruh alam. 

Aku mengerti bahwa wanita dan laki-laki hanya dapat merasakan ketentraman manakala kebahagiaannya itu tidak bergantung kepada benda-benda duniawi. Aku juga kini mengerti bahwa hidupku bukanlah diserahkan kepada kebahagiaan, namun untuk-Nya yang menciptakan kebahagiaan itu. 

Ibu. Malam ini, ketika aku menuliskan setiap kata yang terilhami dari ketentraman pancaran wajahmu, aku merasa begitu alit, bagai bayi rapuh. Menangis jauh di relung hati. Mengharapkan seseorang meneduhkan jiwanya yang panas, mendinginkan pikirannya yang kusut, dan mengheningkan mayapada kemudian menggantikannya dengan puji-pujian kepada Yang Maha Agung. 

Lalu kubiarkan semua air mata yang kupunya menetes syahdu dalam sujud panjangku. 



Saya biasanya menulis untuk menggambarkan perasaan dengan gaya tulisan di atas. Entah apa harus menyebutnya: puisi, sajak, prosa, atau apalah. Kali ini saya mengkategorikannya sebagai Puisi Cahaya Ilmu Agama.
***

Catatan Gina:
 
Saya biasanya menulis untuk menggambarkan perasaan dengan gaya tulisan di atas. Entah apa harus menyebutnya: puisi, sajak, prosa, atau apalah. Kali ini saya mengkategorikannya sebagai Puisi Cahaya Ilmu Agama.

Ketika dedahan zaman begitu cepat mengubah wajah dunia ke wajah yang sangat hedonis, saya selalu menyadari bahwa tidak ada jalan lain bagi kita, khususnya saya pribadi, untuk menikmati kehidupan dunia ini kecuali berada di bawah berkas-berkas cahaya ilmu agama.

Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, apapun filosofi hidupnya, namun yang perlu diingat kita tidak pernah bisa memilih akibat dari pilihan kita. 

Kita bisa memilih menabur benih dan panen adalah akibat dari pilihan kita itu. Kita juga bisa memilih membakar ladang, dan akibat yang tak bisa kita hindari adalah kita kehilangan tanaman kita.

Akhirnya, semoga Puisi Cahaya Ilmu Agama di atas menautkan kita kepada setiap kebajikan yang dapat kita tunaikan.


Baca Juga

Related Posts