Angin berdesau-desau dalam kesunyian bersama gemericik air yang mengalir di kaki bukit. Walaupun malam mulai merayap pelan, hatinya masih menyisakan api membara dari bara-bara kerinduan.
Seorang putri itu terisak-isak dalam tangis pilu. Hatinya basah terendam rindu. Ia duduk dalam sepi sunyi. Suaranya parau meskipun hati ingin menjerit. Tangannya ingin menggapai, namun hanya bayang-bayang yang tersentuh jamahannya.
Maka dalam sergapan sepi itu, jauh dari kedalaman hatinya ia lantunkan kidung agung. Terdengar perih dalam kepiluan. Menyayat-lah suara seorang wanita dalam kabut-kabut penuh misteri.
“Janjiku adalah nafas. Sebuah kehidupan yang hanya habis jika nyawa telah putus dari jasad. Sumpahku adalah jantung. Yang berdetak tiada henti kecuali ketika ajal telah mengambilnya.
Dengarkanlah...
Akan kutunggu meski harus sampai di ujung usia
Jika telah kukatakan engkau adalah kekasihku.
Maka dirimulah kekasihku. Tiada yang lain.
Jika telah kuucapkan sumpah setia.
Itulah ucapanku yang tak kan pernah tercedera.
Meski harus dilambung gelombang.
Meski harus diterjang ombak.
Meski retak hamparan langit.
Tak kan kucampur janjiku dengan keingkaran.
Jika cinta adalah benih dari ribuan cahaya. Maka itulah cintaku untukmu. Karena cintaku adalah cinta yang membesarkan kekasihnya menuju tahta kebahagiaan.
Maka cintaku adalah sebuah pengabdian. Di sepanjang waktu hingga terkikis segala usia yang kupunya.”
KIRIM PUISI
KIRIM PUISI